Amnesia Chapter 1

| Minggu, 16 November 2014
Type : Fanfiction
Anime : Kuroko no Basuke
Pairing : Seijuuro Akashi x Tetsuya Kuroko
Status : On-Going
Aired : Nov 16, 2014
Genres : Shounen-ai, Drama, Hurt
By : Ichinose Shiro
.
.
“Akashi-sama. Sudah waktunya untuk bangun.” terdengar suara maid-ku membangunkan- ku.
“Ha’i ha’i.” jawabku sambil duduk di atas tempat tidur. Terdengar suara hp-ku berdering menandakan ada sms yang masuk. Kuraih hp-ku dengan malas.
Siapa yang meng-sms-ku sepagi ini?, gerutuku dalam hati.
Kutatap layar hp-ku. Aku selalu bertanya-tanya, Siapa ‘Tetsuya’? Dan kenapa dia selalu meng-sms-ku?. Karena rasa penasaran, kubuka sms darinya untuk pertama kali.
Akashi-kun, apa kau baik-baik saja?
Hanya itu saja isi pesan darinya. Tapi membaca pesannya membuat kepalaku terasa sangat sakit. Beberapa kenangan samar-samar muncul berupa suara-suara dan kilasan peristiwa. Akashi-kun?. Akashi-kun, aku baik-baik saja. Akashi-kun, ini oleh-oleh dari Fujisaki-san. Tapi, Akashi-kun, tatapan matanya sangat memelas.
Gambaran yang muncul selalu seorang anak SMA berambut biru dengan berbagai macam pose dan ekspresi. Tanpa kusadari, air mataku sudah megaliri kedua pipiku saat kenangan itu muncul. Cepat-cepat kuusap air mata itu dari pipiku.
Ada apa denganku? Kenapa aku menangis saat melihat kilasan-kilasan aneh? Dan siapa Tetsuya? Anak berambut biru itu? Apa aku pernah menceritakannya pada rekan setimku? Kurasa aku harus menanyakannya pada Reo, pikirku sambil turun dari atas tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.
.
.
“Nee, Reo, apa aku pernah menyinggung-nyinggung tentang Tetsuya sebelumya?” tanyaku pada Reo seusai latihan basket.
“Tetsuya? Bukannya itu nama salah satu pemain Kiseki no Seidai yang sangat berbakat?” Reo balik bertanya. Ia tampak bingung mendengar pertanyaanku.
“Apa kau mengenalnya?” tanyaku lagi. Kuharap ia mengetahui sesuatu tentang Tetsuya. Hanya sedikit juga tak apa.
“Tidak secara pribadi. Tapi ia adalah pemain yang hebat.” jawab Reo sambil meneguk minumannya. Yah, meskipun Reo tidak mengenal Tetsuya secara pribadi, namun paling tidak aku mengetahui bahwa Tetsuya adalah salah seorang Kiseki no Seidai.
Jadi aku tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang Testuya pada Reo. Kurasa aku harus menanyakannya pada anggota Kiseki no Seidai, pikirku sambil mengeluarkan hp-ku.
“Memangnya kenapa? Bukannya kau lebih mengenalnya?” tanya Reo yang tampak bingung.
“Tidak. Tidak ada apa-apa.” jawabku singkat sambil mengetik sebuah pesan kepada Daiki.
To : Daiki
Aku ingin berbicara denganmu. Tunggu aku di taman di dekat sekolahku.
Sent..
“Reo, ayo pulang.” kataku sambil memasukkan hp-ku ke dalam saku lagi.
.
.
“Jadi, apa yang mau kau bicarakan, Akashi?” tanya Daiki tanpa basa-basi begitu aku mendekat ke tempat ia berdiri menungguku.
“Aku ingin bertanya tentang Tetsuya padamu.” jawabku singkat. Firasatku mengatakan bahwa Daiki mengenal Tetsuya lebih pribadi dibanding Reo.
“Ada apa dengan Tetsu?” tanya Daiki bingung.
“Siapa Tetsuya?” tanyaku agak senang. Sudah kuduga Daiki mengenal Tetsuya. Kuharap Daiki mau menceritakan padaku siapa Tetsuya ini.
“Oi, Akashi! Apa kepalamu terbentur saat kecelakaan itu? Tetsu adalah pacarmu dan kau mengalami kecelakaan karena mencoba untuk menyelamatkan Tetsu.” jelas Daiki dengan nada malas-malasan.
“Pacarku?” tanyaku tak percaya. “Kalau begitu, kenapa aku tak mengingatnya?” tanyaku lagi. Keterangan Daiki ini sangat membuatku terkejut.
“Mana kutahu!” bentak Daiki kesal. “Sudahlah, aku mau pergi dulu. Jaa.” katanya sambil berjalan pergi.
“Ah, Daiki. Satu lagi, dimana Tetsuya bersekolah?” tanyaku masih belum puas.
“Seirin.” jawab Daiki tanpa menoleh.
.
.
Jadi ini Seirin. Kenapa aku tak merasa pernah ke tempat ini? pikirku bingung. Ah, itu dia. Anak SMA berambut biru dalam kenanganku. Apa dia Tetsuya? Dan siapa raksasa berambut merah yang merangkulnya itu? tanyaku dalam hati. Tanpa kusadari, aku telah berdiri di depan gerbang SMA Seirin. Aku tidak dapat menahan rasa ingin tahuku. Tunggu dulu, rasa ingin tahun dan.. rindu?
“Akashi-kun.” panggil si rambut biru yang tiba-tiba sudah berada di hadapanku.
“Tetsuya?” tanyaku agak ragu. Perasaanku mengatakan bahwa ia memang Tetsuya. Tapi aku masih belum yakin.
“Akashi-kun, kenapa kau tidak menjawab pesan-pesanku? Aku sungguh khawatir padamu. Mereka tidak mengizinkanku menemuimu saat di rumah sakit.” tanya Tetsuya padaku dengan wajahnya yang datar.
“Ano.. Tetsuya, bisakah kau ikut aku sebentar?” tanyaku merasa agak tidak enak membicarakan hal itu di sini.
“Um.” angguknya singkat.
Cepat-cepat kuraih tangannya dan kutuntun ia ke sebuah taman yang agak sepi. Entah kenapa aku merasa tidak ingin melepaskan tangannya. Rasanya begitu nyaman dan pas menempatkan tangannya di tanganku. Tapi aku tahu bahwa akhirnya aku harus melepaskan tangannya. Rasanya sungguh berat ketika akhirnya aku harus melepaskan genggamanku padanya. Rasanya seakan-akan ia akan menghilang bila tidak kugenggam erat-erat.
“Akashi-kun?” tanyanya dengan wajahnya yang masih tanpa ekspresi.
“Ano ne, Tetsuya.” kataku memulai untuk memberitahunya kebenaran. Karena itu akan menyakitkan apabila ia terus berharap. Meskipun entah mengapa ini tidak mudah bagiku untuk membiarkannya pergi seperti ini. Seharusnya mudah saja bagiku untuk mengatakan ini, tapi entah mengapa aku harus memaksakan diriku untuk mengatakan kata-kata itu.
“Nanishitteiru desuka, Akashi-kun?” tanyanya dengan wajahnya yang polos dan tampak tak bersalah. Aku harus semakin memaksakan diriku untuk mengatakan hal itu saat melihat wajah Tetsuya. Wajahnya yang polos dan tanpa ekspresi itu membuatku ingin tersenyum dan berkata, ‘Tidak ada apa-apa.’ dan bersikap seperti pacarnya seperti sebelum kecelakaan itu.
“Sejak kecelakaan itu, aku kehilangan beberapa ingatanku. Aku sama sekali tidak mengingat siapa dirimu.”kataku setelah memaksakan diri. Akhirnya kata-kata itu terucap juga. Mata Tetsuya melebar dan ia tampak sangat tercengang. “Aku baru mengetahuinya dari Daiki bahwa kau adalah pacarku. Maaf, tapi tentunya kita tak bisa melanjutkan hubungan kita yang dulu.” lanjutku sambil membungkukkan badan. Tanpa sadar, aku menggertakkan gigi saat mengatakan hal itu. Kuharap Tetsuya tidak melihatku menggertakkan gigi.
Hatiku terasa sakit saat mengatakannya. Aku ingin agar ia bisa terus menyukaiku. Memanggilku Akashi-kun seperti yang baru saja dilakukannya. Tapi aku tau, aku harus mengatakan ini. Meskipun nantinya aku akan menyesal, aku tidak boleh menyakitinya lebih dalam lagi.
“Aka-“ katanya mencoba membantah perkataanku. Dengan cepat, kusela perkataannya.
“Karena kau akan selalu mengharapkan diriku yang dulu. Dan aku tidak akan bisa melihatmu tanpa berusaha memaksakan diriku untuk menjadi diriku yang dulu!” seruku tanpa bisa kucegah. Tunggu, apa yang baru saja kukatakan?, batinku terperangah. “Aku tidak-” kataku mencoba meminta maaf atas perkataanku. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengatakan itu. Hanya saja, mulutku terasa seperti bergerak secara otomatis.
“Iie. Daijoubu desu yone. Aku mengerti. Itu memang tidak mungkin.” jawabnya sambil menundukkan kepala.
“Tetsuya.“ panggilku lemah. Dadaku terasa ngilu. Aku sangat menyesal telah mengatakan kata-kata itu.
“Aku mengerti.” ulangnya sambil tersenyum. Sangat jelas bahwa senyum itu adalah senyum terpaksa karena ekspresinya yang amat sedih. “Jaa, aku pergi dulu.” katanya sambil membalikkan badan dan berjalan pergi.
Tanganku bergerak dengan sendirinya. Aku ingin meraihnya. Memeluknya dan tidak melepaskannya lagi. Tapi aku tahu aku tidak bisa. Tidak bisa dan tidak boleh. Aku ingin menghapus senyum terpaksa dan ekspresi sedih itu dari wajahnya. Tapi aku tidak memiliki hak. Yang bisa kulakukan untuknya hanyalah melihatnya dari kejauhan dengan tangan masih menggantung mencoba meraihnya. Dadaku terasa amat sakit. Rasanya seakan-akan aku pernah melakukan hal ini sebelumnya. Mencoba meraihnya. Rasanya amat berat saat kupaksakan diriku untuk melangkah kembali ke rumah meskipun aku ingin berdiri di sana selamanya, menanti Tetsuya kembali.
.
.
“Sei-chan! Kenapa akhir-akhir ini kau terlihat lesu?” tanya Reo bingung.
“Itu hanya perasaanmu saja, Reo.” jawabku berbohong. Dadaku masih terasa ngilu sejak pertemuanku dengan Tetsuya kemarin.
“Benarkah?” tanya Reo tidak percaya.
“Um.” anggukku singkat. Aku tidak ingin memberitahu Reo yang sebenarnya. Karena menceritakannya akan sangat menyakitkan bagiku. Aku ingin sekali melupakan apa yang kemarin terjadi.
“Yah, baiklah kalau begitu.” kata Reo santai. “Ah, ngomong-ngomong, apa kau sudah mendapat informasi tentang Tetsuya?” tanya Reo tiba-tiba teringat.
Dadaku kembali terasa sakit saat mendengar namanya. Tetsuya. Aku selalu merasa bah- wa pemilik nama itu sangat berharga bagiku. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Mende- ngar namanya lagi membuat berbagai kenangan kembali muncul.
Akashi-kun, ayo pergi. Tetsuya?  Ha’i, Akashi-kun? Tetsuya, kau yakin? Akashi-kun, tunggu di sini sebentar. Aku tidak ingin Tetsuya tersakiti. Aku mencintaimu, Tetsuya. Tetsuya, apa yang terjadi? Hei, Tetsuya! Tetsuya!
Kenangan itu berakhir dengan teriakanku memanggil Tetsuya, suara decitan ban mobil, dan terakhir, tanganku yang terulur mencoba menggapai Tetsuya.
 Kepalaku sangat sakit. Setiap kali kenangan itu muncul, kepalaku selalu terasa sakit. Dan setiap kali kenangan itu muncul, aku selalu memiliki sebuah perasaan kuat untuk bertemu dengan Tetsuya. Seakan ada sebagian dari diriku masih mengingat Tetsuya dan mencoba untuk mengingatkan sebagian diriku yang lain untuk mengingat Tetsuya.
“Sei-chan? Sei-chan, ada apa?” panggil Reo. “Oi, Chihiro!” seru Reo yang bingung melihatku tidak menjawab pertanyaanya. Samar-samar, kulihat Chihiro datang menghampiri. Panggilan khawatir dari Reo dan Chihiro sama sekali tidak kupedulikan. Rasa sakit, rindu, dan sesak ini benar-benar menguasaiku. Suara-suara lain hanya terdengar samar. Hanya satu kata yang terdengar olehku dengan jelas. Akashi-kun..
.

.


0 komentar:

Posting Komentar

Next
▲Top▲